Pura – pura yang termasuk dalam Catur Loka Pala di Areal Besakih :
1. PURA GELAP, dengan posisi di TIMUR Padma Tiga, sebagai stana Ida Bhatara Iswara.
Dari jalan setapak di sebelah timur Pura Penataran Agung ke utara (jalannya agak menanjak kira-kira 5 menit perjalanan), terdapat Pura Gelap di ketinggian. Pelinggih pokok berupa Meru tumpang 3 di sana distanakan Hyang Iswara, di samping sebuah Padma, Palinggih Ciwa Lingga, Bebaturan Sapta Petala, Bale Pewedaan dan Bale Gong. Piodalan di Pura Gelap jatuh pada hari Soma Keliwon Wariga dan Aci Pengenteg Jagat pada setiap hari Purnama sasih Karo.
Di sinilah pura tempat umat maturan dan memohon kedamain pikiran dan kesejahteraan hidup sesuai dengan makna pengacinya yang disebut Aci Pengenteg Jagat. Pada waktu karya-karya di Pura Besakih semua pengangge-pengangge di Pura ini berwama serba putih.
WEDAWAKYA
Memuja Batara Iswara
Aham rudrebhir vasubhih caramy
aham adityair uta visvadevaih,
aham mitravarunobha bibharmy
aham indragni aham asvinobha.
(Rgveda.X.125.1).
Maksudnya:
Aku gerakkan kekuatan alam menjadi tenaga dan kekayaan. Aku bercahaya menjadi kekuatan yang cemerlang. Aku menyangga sumber kekuatan alam dalam wujud air dan cahaya. Aku adalah pusat energi, cahaya sebagai kehidupan yang datang dari matahari, udara, api dan segala kekuatan alam yang berguna.
PURA Besakih sebagai tempat pemujaan Tuhan adalah simbol Bhuwana Agung. Hal ini sangat sesuai dengan Mantra Yajurveda XXXX.1 yang menyatakan bahwa alam semesta inilah stana Tuhan yang sesungguhnya. Sebagai lambang alam semesta Pura Besakih dibagi menjadi dua bagian yaitu Soring Ambal-ambal dan Luhuring Ambal-ambal. Soring Ambal-ambal itu lambang alam bawah yang disebut Sapta Patala. Sedangkan Luhuring Ambal-ambal lambang alam atas yang disebut Sapta Loka.
Seluruh kompleks Pura Besakih itu terdiri atas 20 kompleks pura. Ada empat pura yang disebut Pura Catur Dala atau Catur Loka Pala yaitu Pura Gelap, Pura Kiduling Kreteg, Pura Ulun Kulkul dan Pura Batu Madeg. Di tengah-tengah ada Pura Penataran Agung Besakih terdiri atas tujuh Mandala atau tujuh lapisan alam atas atau Sapta Loka.
Pura Gelap sebagai salah satu Pura Catur Lawa adalah sebagai Pura Pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Iswara pelindung arah timur alam semesta atau Bhuwana Agung. Nama-nama pura di kompleks Pura Besakih itu memang sangat khas lokal Bali. Tetapi di balik ciri khas lokal itu terbungkus konsep yang sangat universal. Memang pemuka-pemuka Hindu di masa lampau sudah menggunakan konsep ''berpikir universal berlaku lokal''. Meskipun tidak dengan istilah seperti itu.
Istilah ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini bukan berasal dari bahasa Indonesia. Kata ''gelap'' dalam nama Pura Gelap ini berasal dari bahasa Kawi yang artinya petir atau kilat dengan sinarnya yang putih menyilaukan itu. Pura Gelap sebagai media pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Iswara yaitu dewanya sinar. Bumi ini bisa menjadi wahana kehidupan karena adanya sinar matahari. Sinar matahari inilah sebagai pemimpin sumber-sumber alam lainnya sehingga berfungsi memberikan kehidupan pada isi alam ini.
Tumbuh-tumbuhan meskipun disiram dengan air yang memadai tidak akan bisa hidup tanpa kena sinar matahari. Karena itu dalam kutipan Mantra Rgveda di atas dinyatakan Tuhan dalam wujud cahaya matahari itulah sebagai sumber kekuatan alam. Rohani orang-orang suci pun akan semakin kuat dengan meditasi pada cahaya alam tersebut. Karena itu pada zaman dulu, konon, Pura Gelap ini tempat meditasi para pandita maupun orang yang menyiapkan diri menjadi pandita.
Pura ini juga dinyatakan sebagai penegak dan pemelihara kesucian ''kependitaan''. Pura Gelap lambang dari pusat sinar Bhuwana Agung. Dengan sinar alam semesta ciptaan Tuhan ini semua kekuatan unsur alam ini menjadi berfungsi sebagai sumber kehidupan semua makhluk hidup penghuni alam ini. Karena itu Pura Gelap ini menjadi pusat meditasi umat manusia yang berkehendak membangkitkan sinar suci yang bersemayam dalam dirinya atau di Bhuwana Alit.
Kalau sinar Bhuwana Agung dapat terpadu dengan sinar di Bhuwana Alit atas usaha umat manusia maka keharmonisan hubungan Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit pun terjadi. Hal ini sebagai salah satu penyebab terwujudnya kehidupan yang bahagia atau hita karana. Pura Gelap tidak semata-mata sebagai tempat meditasinya para pandita, tetapi juga sebagai tempat meditasi semua umat terutama mereka yang ingin mengembangkan kepemimpinannya secara baik dan benar.
Areal Pura Gelap ini mula-mulanya tidak begitu besar. Setelah direhabilitasi pura ini diperluas bahkan sekarang menggunakan Kori Agung. Sebelumnya hanya menggunakan Candi Bentar sebagai pintu masuknya. Karena pura ini merupakan satu-kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pura Penataran Agung. Sebelumnya hanya Pura Penataran Agung yang menggunakan Kori Agung atau juga disebut Candi Kurung.
Pelinggih utama di Pura Gelap Besakih ini adalah Meru Tumpang Tiga sebagai media untuk memuja Batara Iswara sebagai manifestasi Tuhan pelindung arah timur dari alam semesta ini. Batara Iswara juga sebagai Dewa kecemerlangan dan kecerahan dari Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit. Atap Meru yang bertingkat-tingkat itu lambang pengelukunan Dasaksara dan lambang urip bhuwana.
Pengelukunan Dasaksara adalah Aksara ''Om'' yang bisa dikembangkan menjadi tiga aksara, lima, tujuh sampai sebelas aksara. Maknanya secara filosofis sama. Meru Tumpang Tiga makna filosofisnya sama dengan Meru Tumpang Lima sampai Sebelas.
Menurut Kekawin Dharma Sunia, Meru itu adalah lambang alam atau Bhuwana stana Tuhan yang sesungguhnya. Meru Tumpang Tiga di Pura Gelap lambang Tri Bhuwana yaitu Bhur, Bhuwah dan Swah Loka. Artinya Tuhan sebagai Batara Iswara menyinari kehidupan di Tri Bhuwana tersebut. Di dalam Meru Tumpang Tiga ini terdapat batu simbol Lingga stana Batara Siwa. Di samping itu, di Pura Gelap ada Pelinggih Sanggara Agung yang menyerupai Padmasana untuk menstanakan tirtha yang diambil dari Pura Tirtha saat ada upacara penting di Pura Penataran Agung Besakih.
Di Pura Gelap terdapat juga Pelinggih Dasar Sapta Patala. Pelinggih ini sebagai media memuja Tuhan sebagai jiwa alam bawah yang terdiri atas tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Unsur-unsur Sapta Patala ini setelah mendapatkan sinar alam semesta barulah akan berfungsi sebagaimana mestinya. Kerja sama alam inilah yang menghasilkan unsur-unsur alam yang menyebabkan berlangsungnya kehidupan di bumi ini.
Oleh karena itu, manusia hendaknya tidak merusak kerja sama unsur alam ini. Karena kerja sama unsur alam ini berlangsung berkat adanya Rta yaitu hukum alam ciptaan Tuhan. Merusak proses alam sesuai dengan Rta berarti dosa karena tergolong perilaku melawan takdir Tuhan. * I Ketut Gobyah
2. PURA ULUN KULKUL, dengan posisi di BARAT Padma Tiga, sebagai stana Ida Bhatara Mahadewa.
PURA Ulun Kulkul dalam Pangider-ider Pura Catur Dala yang berada di wilayah barat dari Pura Penataran Agung Besakih.
Mengapa pura ini disebut Pura Ulun Kulkul, karena di Pura ini terdapat hulunya Kulkul di seluruh Bali. Di pura ini umat mohon taksu kalau membuat kulkul atau kentongan sebagai alat komunikasi tradisional. (Mestinya dalam alam modern ini, kita bisa mohon taksu untuk ponsel kita, agar kondisinya tetap prima dan tidak mudah terganggu).
Fungsi utama dari Pura Ulun Kulkul ini adalah sebagai media pemujaan Tuhan Yang Mahaesa dalam manifestasinya sebagai Dewa Mahadewa. Pelinggih utama sebagai pemujaan Bathara Mahadewa adalah di Pelinggih Gedong Sari (7). Pelinggih ini berbentuk segi empat beratap ijuk agak meruncing keras. Pelinggih ini letaknya di arah tenggara dari areal Pura Ulun Kulkul dan diapit oleh Palinggih Pepelik (5 & 6) sebagai tempat mengaturkan upakara saat ada upacara besar atau kecil. Dua Pelinggih Pepelik ini sebagai tempat mengaturkan dua macam upakara. Dalam Sarasamuscaya ada disebutkan persembahan itu ada dua jenis yaitu Ista dan Purta. Ista adalah upakara sebagai media permohonan untuk mengembangkan niat-niat spiritual untuk membangun kemajuan jiwa. Sedangkan Purta simbol permohonan untuk memajukan kesejahteraan hidup duniawi. Karena itu di Pura Ulun Kulkul diadakan setiap Tilem Sasih Ketiga di upacara Pengurip Bumi. Bumi ini ke bawah memiliki tujuh lapisan yang disebut Sapta Patala. Kalau masing-masing lapisan ini berfungsi dengan sebaik-baiknya maka kehidupan di permukaan bumi ini akan berlangsung dengan baik. Di semua lapisan-lapisan bumi ini ada kemahakuasaan Tuhan sehingga lapisan bumi ini dapat berdinamika sesuai dengan hukum Rta. Kalau lapisan bumi ini dapat berfungsi sesuai dengan hukum Rta maka sumber-sumber alam akan berfungsi sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di permukaan bumi ini. Karena itu Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk memohon agar tanah seperti sawah, ladang maupun hutan dapat menjadi tempat tumbuhnya tanam-tanaman dengan suburnya.Sementara kulkul besar hulu dari kulkul di Bali diletakkan di Pelinggih Bale Agung (2) bertiang delapan.
Di Bali kalau ada umat atau desa membuat kulkul, pada saat melaspas kulkul-nya umat nunas tirtha di Pura Ulun Kulkul ini agar kulkul-nya mataksu ditaati oleh umat. Memang sebagian besar kompleks Pura Besakih ini sebagai hulunya berbagai pemujaan umat Hindu yang ada di seluruh Bali. Oleh karena itu sudah sangat tepatlah Pura Besakih berkedudukan sebagai Huluning Bali Rajya. Artinya kepalanya Pulau Bali. Sedangkan pusatnya adalah Pura Pusering Tasik.Fungsi kulkul sesungguhnya sebagai sarana untuk memohon adanya suasana yang rukun, aman dan damai. Karena salah satu tujuan hidup bersama adalah mendapatkan rasa aman dan sejahtera.
Dalam Manawa Dharmasastra 1.89 disebut Raksanam dan Dhanam. Raksanam artinya mohon keamanan dan Dhanam artinya memohon kesejahteraan ekonomi. Dua kebutuhan rakyat dalam kehidupan bersama ini menjadi tanggung jawab para pemimpin.Karena itu Raja sebaga Ksatria didampingi oleh Bhagwanta atau pendeta istana menekankan pendirian Pura Besakih termasuk Pura Ulun Kulkul ini. Kalau ada anggota masyarakat yang diduga berbuat salah seperti mencuri atau perbuatan yang melanggar hukum lainnya, maka di Pura Ulun Kulkul inilah diselenggarakan upacara ''Penyumpahan''. Hal ini untuk membuat umat menjadi takut berbuat melanggar hukum. Penyumpahan ini sebagai bukti bahwa Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk membangun rasa aman atau Raksanam.Penyumpahan ini bertujuan untuk menanamkan pada lubuk hati umat bahwa kalau mereka melanggar hukum Tuhan pasti tahu. Inilah cara menanamkan cara pengawasan oleh diri sendiri agar umat menjaga prilakunya. Dengan demikian Raja akan lebih mudah membangun rasa aman dalam kerajaannya.
Pura Ulun Kulkul juga berfungsi sebagai Pura untuk memohon keselamatan ''Sarwa Mule''. Yaitu barang-barang berharga seperti emas, perak, dan batu-batu permata yang diyakini memiliki tuah spiritual. Karena benda-benda ini bentuknya kecil sehingga sangat mudah hilang, apa lagi zaman dahulu tidak ada peti besi (bran-kaas, safety deposit box) seperti sekarang untuk menyimpan benda-benda berharga itu. Dengan memuja Tuhan sebagai Bhatara Mahadewa umat yakin akan keamanan barang-barang mereka yang berharga itu. Demikian juga umat yakin kalau memiliki barang-barang berharga mereka mohonkan Tirtha di Pura Ulun Kulkul sebagai stana Dewanya ''Sarwa Mule''. Hal itu diyakini akan mendapatkan perlindungan dari Bhatara Mahadewa. Demikian juga para pencuri akan takut mencuri barang-barang yang sudah dimohonkan perlindungan di Pura Ulun Kulkul.Kalau mereka berani mencuri mereka akan segera ketahuan atau akan mendapatkan ''pastu'' dari Bhatara Mahadewa. Cara pengamanan ini bersifat Niskala. Pada zaman modern sekarang ini keyakinan orang pada hal-hal Niskala itu agak menipis, karena itu pengamanan Niskala itu hendaknya disertai dengan pengamanan Sekala. Di samping itu menurut ajaran Hindu dalam hidup ini memang tindakan manusia harus selalu diupayakan seimbang antara tindakan Sekala dan Niskala.Pura Ulun Kulkul sebagai media untuk menanamkan nilai-nilai keseimbangan itu yang diawali dari melakukan upaya Niskala untuk memperoleh rasa aman sebagai salah satu unsur yang mutlak untuk mendapatkan hidup yang harmonis.
3. PURA BATU MADEG, dengan posisi di UTARA Padma Tiga , sebagai stana Ida Bhatara Wisnu.
Untuk mencapai Pura Batu Madeg ini kita berjalan kaki keutara disebelah Barat Suci dan kemudian membelok sedikit ke Barat.
Pura ini cukup luas di mana di dalamnya banyak terdapat palinggih-palinggih dan meru. Palinggih pokok adalah stana Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Wisnu berupa meru tumpang 11. Upakara Yadnya atau Pangaci di pura Batu Madeg terdiri dari piodalan pada hari Soma Umanis Tolu, Ngusabha Warigadian pada hari penanggal 5 sasih kelima dan Benaung Bayu pada hari tilem sasih kelima.
Palinggih-palinggih di Pura Batu Madeg antara lain:
- Bebaturan tempat memuja Bhatara Gajah Waktera. Di masa-masa yang lalu yaitu pada waktu perjuangan merebut kemerdekaan, konon para pejuang banyak yang bersemadhi di palinggih ini.
- Bebaturan linggih Bhatara Batudinding.
- Gedong Palinggih Bhatara Pujungsari.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Manik Bungkah.
- Meru tumpang 11 Palinggih Bhatara Bagus Babotoh.
- Meru tumpang II Palinggih Bhatara Sakti Batu Madeg (Hyang Wisnu).
- Bebaturan Palinggih I Ratu Kelabangapit, tempat masyarakat memohon keselamatan bila akan membuat empelan (bendungan besar) dan memohon agar sawah-sawahnya tidak mengalami kekurangan air.
- Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Buncing.
- Meru tumpang 9 Palinggih Bhatara Manik Angkeran yang dimuliakan oleh para prati sentananya dan sekarang dikenal dengan sebutan Pinatih, sulang dan Wayabya, di samping oleh Masyarakat umat Hindu umumnya.
- Bale Tegeh Palinggih Lingga.
- Bale Pesamuhan Agung tempat pemujaan umum ke hadapan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagi Hyang Wisnu.
- Bebaturan Pelinggih Bhatara Sanghyang Batur.
- Gedong Palinggih Sanghyang Kumpi Batur.
- Enam buah Bale Pelik diantaranya terdapat tempat pemujaan pada Dukuh Suladri di Bale Pelik bagian Timur.
- Bangunan-Bangunan Bale Pegat, Bale Gong, Bale Pewedaan, dan Candi bentar.
4. PURA KIDULING KRETEG, dengan posisi di SELATAN Padma Tiga, sebagai stana Ida Bhatara Brahma.
Dari Pura Penataran Agung ke timur melewati jalan setapak di sebelah menyebelah pura-pura Pedharman dan pada ujung timur terdapat Pura Kiduling Kreteg, yaitu di sebelah Timur sungai melalui sebuah jembatan. Luas Pura ini demikian pula jumlah palinggih-palinggihnya hampir sama dengan Pura Batu Madeg, di mana pelinggih pokoknya Meru tumpang 11 kahyangan Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Hyang Brahma. Di dalam lontar-lontar Pura ini kadang-kadang dinamai Pura Dangin Kreteg dan kadang Pura Kiduling Kreteg, mungkin karena tempatnya seolah-olah berada di sebelah timur jembatan dan seolah-olah di sebelah selatan jembatan kalau kita sedang berada di Pura Penataran Agung . Ini bisa dimengerti karena Pura Besakih sesungguhnya tidak sepenuhnya menghadap ke Selatan tetapi agak miring kearah Barat berhadapan dengan Pura Luhur Uluwatu di desa Pecatu Kabupaten Badung. Ini pulalah sebabnya Pura Luwur Uluwatu dan Pura Besakih Hyang Hyangning Segara Ukir atau Hyang Hyangning Segara Gunung dalam arti Pura Luhur Uluwatu berfungsi Predana dan Pura Besakih Purusa.
Adapun bangunan-bangunan pelinggih yang terdapat di Pura
Kiduling Kreteg antara lain:- Meru tumpang 11 Pelinggih Hyang Brahma, yang oleh umum disebut Bhatara Agung Sakti.
- Meru Tumpang 7 Pelinggih Bhatara Bayu, yang oleh umum disebut I Ratu Bagus Bayusan.
- Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Swa.
- Meru tumpang I I Palinggih Ida Ratu Bagus Cili.
- Meru tumpang 5 Palinggih Ida Ratu Bagus Soha.
- Meru tumpang 3 Palinggih Ida Ratu Sihi.
- Meru tumpang 3 Palinggih Dewa-Dewi.
- Bale Pesamuan Agung.
- Bale Agung.
- Bale Pegat.
- BalePawedaan.
- Bebaturan.
- Bale Tegeh.
- Bebaturan.
- Panggungan.
- Bale Gambang.
- Bale Gong.
- Candi Bentar.
- Bale Pesambiyangan.
Piodalannya jatuh pada Anggara Wage Dungulan atau Penampahan Galungan, sedang Aci Panyeeb Brahma diselenggarakan setahun sekali pada hari purnama sasih Kaenem. Aci Panyeeb Brahma adalah untuk memohon agar padi di sawah tidak merana dan hangus kekeringan. Dalam karya-karya di pura Kiduling Kreteg, semua penganggen pelinggih berwarna merah.
5. Pura Penataran Agung Besakih , Posisi di Tengah
Pura Besakih sebagai objek penelitian berkaitan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat yang berada di Kabupaten Karangasem Provinsi Bali.
Berdasar sebuah penelitian, bangunan fisik Pura Besakih telah mengalami perkembangan dari kebudayaan pra-hindu dengan bukti peninggalan menhir, punden berundak-undak, arca, yang berkembang menjadi bangunan berupa meru, pelinggih, gedong, maupun padmasana sebagai hasil kebudayaan masa Hindu.
Latar belakang keberadaan bangunan fisik Pura Besakih di lereng Gunung Agung adalah sebagai tempat ibadah untuk menyembah Dewa yang dikonsepsikan gunung tersebut sebagai istana Dewa tertinggi.
Pada tahapan fungsional manusia Bali menemukan jati dirinya sebagai manusia homo religius dan mempunyai budaya yang bersifat sosial religius, bahwa kebudayaan yang menyangkut aktivitas kegiatan selalu dihubungkan dengan ajaran Agama Hindu.
Dalam budaya masyarakat Hindu Bali, ternyata makna Pura Besakih diidentifikasi sebagai bagian dari perkembangan budaya sosial masyarakat Bali dari mulai pra-Hindu yang banyak dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, sehingga memengaruhi perubahan wujud budaya ide, wujud budaya aktivitas, dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan, ajaran Tata-susila yang mengatur bagaimana umat Hindu dalam bertingka laku, dan ajaran Upacara merupakan pengaturan dalam melakukan aktivitas ritual persembahan dari umat kepada TuhanNya, sehingga ketiga ajaran tersebut merupakan satu kesatuan dalam ajaran Agama Hindu Dharma di Bali.
0 komentar:
Post a Comment